Kaidah-Kaidah Turunan dari Kaidah Pokok "ADH-DHARARU YUZALU"


1.    Kaidah :

الضَرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ

"Kemudharatan-kemudharatan itu dapat memperbolehkan keharaman".

Batasan kemudharatan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi manusia yang terkait dengan lima tujuan, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara kehormatan atau harta benda. Sebagaimana aplikasi dari kaidah cabang ini, di sini terdapat beberapa contoh:

a.        Memecahkan kaca transportasi umum seperti bus, kereta, dan pesawat. Hal ini boleh dilakukan untuk menyelamatkan diri saat kendaraan mengalami kondisi darurat. Sebab jika kaca tidak dipecahkan dikhawatirkan para penumpang terjebak di dalam transportasi itu dan nyawanya terancam.

b.      Seseorang dengan keadaan kelaparan dan tidak ditemukannya makanan halal. Pada konteks ini seseorang diperbolehkan memakan makanan yang haram. Mengingat keadaan orang itu kritis sampai mendekati kematian dan mengharuskan untuk segera makan. Akan tetapi tentu makan sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup.

c.       Dokter membuka aurat pasien dalam rangka pengobatan. Dalam kasus ini, diperbolehkan membuka aurat pasien yang pada awalnya diharamkan melihat kondisinya yang tidak memungkinkan dan memang mengharuskan membuka aurat. Dengan catatan hanya sesuai kadar kebutuhan dan tidak lebih dari itu.

 

2.    Kaidah

مَا أُبِيْعَ لِلضَّرُوْرَاتِ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا

"Apa yang dibolehkan karena darurat diukur sekadar kedaruratannya"

Sesuatu yang dilakukan karena madharat, maka diperbolehkan melakukan secukupnya, sesuai kadar yang cukup menghilangkan kemadharatan tersebut, sedangkan lebih dari itu tidak boleh dilakukan. Di sini kaidah cabang ini memberi batasan bahwa setiap aktifitas yang dilakukan karena adanya darurat itu diperbolehkan sebatas untuk memenuhi kebutuhan dan tidak lebih daripada itu. Berikut contoh-contoh dari kaidah cabang tersebut:

a.       Orang kelaparan yang mendekati kematian. Pada kondisi demikian seseorang tidak menemukan makanan halal apapun selain daging hewan yang diharamkan untuk dimakan yang ada di depannya. Berdasarkan kaidah cabang ini seseorang boleh memakan daging hewan yang diharamkan sekedarnya saja untuk menyambung hidup. Apabila orang tersebut nyawanya sudah merasa terselamatkan, maka tidak boleh memakan sepuas-puasnya karena memang kadar kedaruratannya telah terpenuhi.

b.      Seorang dokter yang sedang memeriksa pasiennya. Dalam menjalankan tugasnya dokter tidak boleh melihat aurat pasiennya melainkan sekedar yang dibutuhkan saja untuk pemeriksaan dan pengobatan.

 

3.    Kaidah

الضَّرَرُ يُدْفَعُ بِقَدْرِ الْإِمْكَانِ

 "Darurat harus ditolak semampu mungkin".

Maksud dari kaidah ini menjelaskan bahwa segala macam bahaya harus dihilangkan secara keseluruhan jika memungkinkan. Tetapi jika tidak bisa, maka hendaknya ditolak semampunya sesuai kemampuan yang dimiliki. Oleh karena itu sebisa mungkin berbagai macam usaha dilakukan untuk menolak bahaya. Di bawah ini contoh-contoh dari kaidah cabang tersebut:

a.       Masuk dalam sistem pemerintahan negara kafir itu diperbolehkan dengan pertimbangan untuk menurunkan kadar kemudharatan. Dalam hal ini meskipun tidak dapat menghilangkan kemudharatan tersebut secara keseluruhan, paling tidak dapat meminimalkan kemudharatan yang ada.

b.      Upaya pengumpulan dan pembukuan Al-Qur'an yang dilakukan oleh sahabat Abu Bakar dengan tujuan agar tidak hilang.

c.       Agar tidak terjadi perselisihan dalam bacaan Al-Qur'an dan segala hal yang berkaitan dengan Al-Qur'an di kalangan umat Islam, maka sahabat Ustman bin Affan memiliki inisiatif untuk membukukannya dalam satu mushaf.

d.      Tindakan pembakaran kedai minuman keras seperti arak dan sebagainya yang pernah dilakukan oleh sahabat Umar bin Khattab bertujuan agar tidak timbul masalah yang tidak diinginkan dan kemudharatan yang lebih besar lagi.

 

4.    Kaidah

يَتَحَمَّلُ الضَّرَرُ الخَاصُ لِدَفْعِ الضَّرَرِ العَامِ

 "Bahaya khusus harus ditempuh untuk menolak bahaya umum".

Kaidah ini masih ada kaitan dengan kaidah "ad-dhararu la yuzalu bimitslihi" yaitu dalam menghilangkan bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lain yang serupa dilihat dari sudut pandang keumuman, pengkhususan, dan bahaya. Penerapan dari kaidah cabang ini terlihat dalam pemberlakuan hukum-hukum seperti; hukuman potong tangan untuk menjaga harta benda orang lain, hukuman qishas demi menjaga nyawa, dan hukuman bagi pezina untuk menjaga garis keturunan. Berikut contoh-contoh aplikasi kaidah cabang ini sebagaimana yang dikutip dari Muhammad Shidqi:[1]

a.        Pemerintah boleh menekan kenaikan harga barang pokok kepada para pedagang di pasar dengan berbagai kebijakannya. Hal ini bertujuan agar harga barang pokok tidak mengalami kenaikan yang dapat menyebabkan daya beli rakyat menengah ke bawah tidak mampu menjangkau apabila pedagang bebas mempermainkan harga. Oleh karena itu dengan adanya kebijakan pemerintah diharapkan tidak timbul bahaya (dharar) seperti kenaikan harga.

b.      Diperbolehkan memecat seorang dokter yang tidak memiliki skill di bidangnya karena dikhawatirkan akan mengancam keselamatan jiwa akibat dari tindakan medis yang dilakukannya.

c.       Penjual senjata dilarang menjual senjata ketika terjadi peperangan. Apabila itu dilakukan, maka bahaya akan semakin luas serta menyebabkan permusuhan tak kunjung damai.

d.      Seorang penjual tidak boleh menjual anggur atau bahan lain yang dapat dijadikan bahan minuman keras atau memabukkan kepada pembeli yang diyakini akan membuat minuman yang memabukkan dari bahan yang dibeli. Hal ini bertujuan agar produksi dan distribusi peredaran minuman keras tidak semakin meluas.

e.       Diperbolehkan membunuh ahli sihir yang membahayakan keselamatan umat manusia atau orang kafir yang menjerumuskan umat manusia kepada kekufuran.

 

5.    Kaidah :

الْمَيْسُوْرُ لَا يُسْقَطُ بِا لْمَعْسُوْرٍ

"Kemudahan itu tidak dapat digugurkan dengan kesulitan"

Berdasarkan kaidah ini dikatakan bahwa dalam pelaksanaan perintah apabila seseorang tidak mampu mengerjakannya secara sempurna bukan berarti ia tidak berkewajiban mengerjakannya. Akan tetapi harus mengerjakannya sebatas kemampuan yang dimiliki.[2] Kaidah ini juga mengacu pada firman Allah surat al- Taghabun ayat 16:

 فَاتَّقُوا اللهَ مَا سْتَطَعْتُمْ

"Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu"

            Di samping itu juga berdasarkan hadis Rasulullah yang artinya: "sesuatu yang aku larang hendaklah kalian tinggalkan, dan apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampu kalian." Di bawah ini contoh-contoh dari kaidah cabang tersebut:

a.       Orang yang hanya memiliki kemampuan membaca sebagian ayat dari surat al-fatihah ketika shalat, maka ia wajib membaca sebagian ayat yang ia hafal atau ketahui ketika mengerjakan shalat.

b.      Seseorang yang sebagian anggota tubuhnya terpotong, maka ketika bersuci wajib baginya membasuh bagian tubuh yang masih tersisa.

c.       Seseorang wajib berdiri ketika shalat. Namun apabila tidak mampu berdiri maka shalat dengan duduk, apabila tidak mampu, maka dengan berbaring.

d.      Dalam shalat, seseorang wajib berdiri mulai rakaat pertama samapi rakaat terakhir. Namun, jika ia hanya mampu berdiri pada sebagian rakaat, maka kewajiban berdiri hanya pada rakaat yang ia mampu. Kemudian untuk rakaat yang lain, bisa dilakukan dengan duduk jika memang sudah tidak mampu lagi berdiri.

e.       Apabila seseorang melihat suatu kemungkaran dan tidak mampu menghilangkannya, maka wajib baginya meringankan atau menghilangkan sebagian kemungkaran tersebut karena memang ia hanya mampu sebagian.

 

6.    Kaidah :

الاِضْطِرَارُ يُبْطِلُ حَقَّ الْغَيْرِ

"Keterpaksaan itu tidak dapat membatalkan hak orang lain".

Kaidah cabang ini menjelaskan suatu hak yang sudah menjadi milik orang lain meskipun dalam kondisi terpaksa (itthirar) ini tidak bisa batal. Seandainya keterpaksaan (itthirar) dapat membatalkan hak orang lain, tentu akan melenyapkan suatu bahaya dan berganti dengan bahaya lain. Dengan demikian, yang terjadi bukanlah pelenyapan akan tetapi hanya perpindahan dari suatu bahaya ke bahaya lain. Adapun contoh dari kaidah cabang ini sebagai berikut:

a.       Orang yang merasa terganggu dengan adanya suara hewan ternak milik tetangganya. Dalam kasus ini orang tersebut terpaksa menyembelih hewan ternak milik tetangganya sebab ia merasa sangat terganggu dengan hewan ternaknya yang kerap kali bersuara keras. Berdasarkan kaidah cabang ini orang tersebut wajib memberi ganti rugi kepada pemiliknya karena keterpaksaan itu tidak dapat membatalkan hak orang lain.

b.      Menghilangkan barang orang lain yang dipakai saat keadaan terpaksa. Dalam kasus ini orang yang menghilangkan barang tersebut harus mengganti seharga barang yang telah dihilangkan. Meskipun ia menghilangkan barang tersebut dalam kondisi terpaksa, bukan berarti ia lepas dari tanggungjawab untuk menggantinya karena sesuai kaidah ini bahwa hak milik orang lain tidak dapat dibatalkan dengan adanya keterpaksaan.

 

7.    Kaidah

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِى الْمَصَالِحِ فَإِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَةٌ وَمَصْلَحَةٌ قُدِّمَ دَفْعُ الْمَفْسَدَةِ غَالِبًا

"Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik maslahah dan apabila berlawanan antara yang mafsadah dan maslahah maka yang didahulukan adalah menolak mafsadahnya".

Berdasarkan kaidah di atas bahwa hendaknya seseorang lebih mengutamakan menolak kerusakan dibandingkan meraih kemaslahatan. Itu artinya apabila dalam suatu perkara terjadi pertentangan antara menolak kerusakan dan mengambil kemaslahatan, maka yang lebih utama. adalah menolak kerusakan. Jadi jika kerusakan suatu perkara itu tidak dihilangkan atau ditolak, maka dikhawatirkan akan timbul kerusakan atau bahaya yang lebih besar. Contoh-contoh daripada kaidah tersebut antara lain:

a.         Diharamkannya berjudi, minum-minuman yang memabukkan meskipun di dalamnya terdapat manfaat. Sebagaimana firman Allah surat al-Baqarah ayat 219 yang berbunyi:

يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ . قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيْرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا.

"Mereka bertanya kepadamu (Wahai Muhammad) mengenai arak dan judi. Katakanlah: Pada keduanya ada dosa besar dan ada pula beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya."

Dalil tentang pengharaman arak dan judi di atas, Ibnu Taimiyyah[3] mendukung dengan fatwanya: "Apabila terjadi pertentangan antara kemaslahatan dengan kerusakan, kebaikan dengan kejahatan atau berdampingan di antara keduanya, maka harus ada tarjih di antara keduanya. Hukum yang ada pada saat itu ialah perintah dan larangan yang terdapat dalam maslahat dan kerusakan. Seandainya hasil tarjih jika dilaksanakan akan membawa ke arah kemudharatan atau kerusakan yang lebih besar, maka tidak dianjurkan untuk melaksanakannya bahkan diharamkan. Parameter untuk mengukur kemaslahatan dan kerusakan suatu perkara adalah dengan timbangan syariat baik melalui nash atau hasil ijtihad para imam Mujtahid."

b.      Sulitnya membedakan jika telah bercampur antara uang halal dan haram. Jika terjadi yang demikian, maka meninggalkan keduanya adalah lebih utama. Maksudnya untuk menghindari supaya tidak memakan dengan menggunakan uang haram, maka solusi yang terbaik dengan meninggalkan keduanya.

c.       Lebih baik menghapus iklan rokok untuk mencegah kebiasaan merokok yang lebih besar bahayanya daripada sekedar mendapatkan gaji iklan yang sedikit.

 

8.    Kaidah :

الضَّرَرُ لَا يُزَالُ بِا الضَّرَرِ

"Kemudharatan itu tidak dapat dihilangkan dengan kemudharatan yang lain".

 

Maksud dari kaidah cabang ini, seseorang tidak boleh menghilangkan suatu bahaya dengan bahaya yang lain. Karena jika menghilangkan bahaya dan menimbulkan bahaya lain yang kadarnya sama seperti itu atau bahkan bahaya yang ditimbulkan lebih besar, maka kaidah cabang ini bertentangan dengan kaidah pokok (الضَّرَرُ يُزَالُ) kemudharatan itu harus dihilangkan. Menurut Muhammad Shidqi dalam menghilangkan dharar sebisa mungkin agar jangan sampai menimbulkan bahaya yang lebih besar atau jika tidak memungkinkan supaya mencari solusi agar bahaya yang ditimbulkan lebih ringan.[4] Contoh-contoh dari kaidah cabang ini adalah sebagai berikut:

a.    Seorang dokter tidak boleh mengambil darah orang lain untuk didonorkan kepada pasien yang membutuhkan darah. Sebab dengan mengambil darah orang tersebut dapat menyebabkan kematian pada dirinya. Tentunya hal ini sangat bertentangan dengan kaidah cabang ini yakni orang tersebut berusaha menghilangkan bahaya orang lain, namun mendatangkan bahaya baru. Jika dalam kasus ini mengacu pada kaidah cabang, maka jangan sampai seseorang menyelamatkan nyawa orang lain namun mengorbankan nyawa dirinya sendiri ataupun sebaliknya.

b.    Tidak boleh mencuri atau mengambil makanan orang lain yang bernasib sama-sama hampir mati. Alasannya karena dengan mengambil makanan akan mendatangkan bahaya baru bagi orang lain meskipun bahaya pada diri sendiri dapat dihilangkan.

c.    Sesama muslim dilarang saling membunuh meskipun dalam kondisi terpaksa. Jiwa seorang muslim memiliki derajat yang sama di sisi Allah. Meskipun semisal terjadi ancaman terhadap jiwa dan nyawa yang menjadi taruhannya, maka seorang muslim tetap dilarang membunuh saudara yang seagama.

d.   Seorang yang faqir tidak ada kewajiban memberi nafkah untuk saudaranya yang fakir. Hal ini apabila dilakukan, maka akan menimbulkan bahaya pada diri orang tersebut.

e.    Orang yang sholeh (baik perangainya) tidak boleh menikahi wanita yang tholeh (buruk perangainya) seperti Pekerja Sex Komersial (PSK). Meskipun orang sholeh tersebut bertujuan agar wanita terbebas dari kegiatan prostitusi maka hal itu tetap tidak boleh dilakukan oleh orang yang sholeh karena memang kemudharatan pada diri wanita tidak diinginkan untuk melahirkan keturunan yang melibatkan laki-laki sholeh.

 

9.    Kaidah :

إِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَ تَانِ رُوْعِيْ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَا بِ أَخَفِّهِمَا

"Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar mudharatnya dengan memilih yang lebih ringan mudharatnya".

Suatu perkara yang jika di dalamnya terkandung bahaya dan kedua bahaya tersebut saling bertentangan, maka berdasarkan kaidah ini diwajibkan menghilangkan bahaya yang lebih besar dan mengerjakan dengan bahaya yang lebih ringan. Dari sini dapat ditarik kesimpulan apabila terdapat dua bahaya dalam waktu yang bersamaan, hendaklah seseorang memiliki perbandingan mana bahaya yang besar dan mana bahaya yang ringan dari keduanya. Kemudian dipilihlah perkara yang memiliki bahaya yang ringan untuk menghindari bahaya yang lebih besar. Contoh-contoh dari kaidah cabang ini adalah sebagai berikut:

a.       Shalat dengan memakai pakaian seadanya karena memang tidak ada pakaian yang dapat menutup aurat selain pakaian tersebut. Sebab kerusakan atau mafsadah memakai pakaian seadanya saat shalat jauh lebih ringan dibandingkan meninggalkan shalat. Jadi mafsadah yang lebih ringanlah yang harus kita tempuh agar shalat tetap terlaksana.

b.      Hukuman mati bagi seorang teroris. Dalam kasus ini memberi hukuman mati terhadap teroris lebih baik daripada hanya sekedar penjara beberapa tahun. Pada saat teroris dihukum mati, ia sudah tidak dapat menjalankan aksinya lagi mengancam eksistensi keamanan suatu negara dan ini bahaya yang ditimbulkan lebih ringan dibanding penjara beberapa tahun yang kemudian teroris tersebut dapat menjalankan aksinya kembali.

c.       Seorang dokter diperbolehkan melakukan pembedahan perut wanita hamil yang mati sebelum melahirkan jika dengan cara itu bayi dalam kandungan masih hidup dan dapat diselamatkan. Sebab kemudharatan membedah perut wanita hamil yang mati sebelum melahirkan lebih ringan dibandingkan membiarkan bayi ikut meninggal.

d.      Jika kaum muslimin tidak berdaya untuk melawan akibat dikepung musuh dan tidak ada pilihan lain selain menyerahkan harta mereka, maka memberikan harta tersebut lebih ringan mafsadahnya daripada menaruhkan nyawa demi harta.

 

10.  Kaidah :

الحَاجَةٌ الْعَامَةُ أَوْ الْخَاصَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُورَةِ

"Kebutuhan umum atau khusus dapat menduduki tempatnya darurat".

Berdasarkan kaidah cabang ini ada dua unsur yang perlu dijelaskan terlebih dulu sebelum menjelaskan inti dari kaidah ini yakni lafadz al-hajah dan al-dharurat. Dalam ilmu ushul fiqh dijelaskan bahwa hendaknya seseorang memelihara tiga kebutuhannya yaitu kebutuhan dharuriyyah, hajiyyah, dan tahsiniyyah.

Kebutuhan pertama, kebutuhan dharuriyyah merupakan kebutuhan primer yang jika tidak dipenuhi akan berakibat pada kematian atau rusaknya fungsi badan seseorang.

Kebutuhan kedua, kebutuhan hajiyyah adalah kebutuhan sekunder artinya kebutuhan yang tidak akan menyebabkan kematian apabila tidak terpenuhi hanya saja menimbulkan kesulitan pada seseorang.

 Kebutuhan ketiga, kebutuhan tahsiniyyah adalah kebutuhan tersier artinya kebutuhan yang dapat menjadikan kehidupan manusia menjadi lebih baik tetapi masih berada dalam batasan syara'.

Pada dasarnya dalam keadaan al-dharurat terdapat bahaya yang muncul serta perbuatan yang dilanggar berupa perbuatan yang haram li dzatihi seperti memakan daging babi. Sedangkan dalam keadaan al-hajah hanya berupa kesulitan atau kesukaran yang muncul serta perbuatan yang dilanggar berupa perbuatan yang haram li ghairihi. Kebolehan melanggar perbuatan yang haram inilah menyebabkan kedudukan al-hajah diletakkan pada posisi ad-dharurat. Contoh-contoh dari kaidah cabang ini adalah sebagai berikut:

a.       Akad salam. Akad ini merupakan akad yang menjual barang yang belum wujud asal sifat-sifatnya atau contohnya telah ada. Pada dasarnya akad ini tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan qiyas yaitu menjual barang yang belum ada wujudnya. Dalam hal ini akad salam ini diperbolehkan karena dapat memberikan kemudahan dalam transaksi dan menjadi kebutuhan umum.

b.      Seorang guru wanita yang mengajar di kelas siswa putra ataupun sebaliknya. Pada dasarnya seorang wanita tidak diperbolehkan melihat pria lain ataupun sebaliknya tanpa adanya hajat. Hukum ini akan berbeda jika dalam rangka belajar mengajar ataupun transfer ilmu maka diperbolehkan sebab adanya kebutuhan sekelompok orang.[5]



[1] Muhammad Shidqi bin Ahmad al-Burnu, Al-Wajiz fi Idlah Qawaid al-Fiqh al- Kulliyah, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1983), hlm. 84.

[2] Shalih Ibn Ghanim as-Sadlan, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubro, (Riyadh: Dar al- Balansiyyah, 1417 H), hlm. 298.

[3] Abul Abbas Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani lahir 10 Rabi'ul Awwal 661 H (22 Januari 1263) dan wafat 22 Dzul Qa'dah 728 H (26 September 1328)), beliau adalah seorang pemikir dan ulama Islam dari HarranTurki.

[4] Muhammad Shidqi bim Ahmad al-Burnu, Al-Wajiz fi Idlah Qawaid al-Fiqh al- Kulliyah, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1983), Hal. 82.

[5] Mif Rahim, “Buku Ajar Qawa’id Fiqhiyyah (Inspirasi dan Dasar Penetapan Hukum)”, LPPM Unhasy Tebuireng Jombang, 2019, Hal. 105-116


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Classotige Class

The Untold Sirah Nabawiyah Episode 5